Polemik
apakah perlu konversi mata kuliah setiap ada pergantian kurikulum ternyata
menemukan muaranya. Sebagian berpendapat tidak perlu konversi mata kuliah dan dengan
lantang berkata “terapkan saja kurikulum baru untuk mahasiswa baru sedangkan
mahasiswa yang ada saat ini tetap menggunakan kurikulum lama…!”, sementara yang
lain berpendapat tetap perlu
konversi mata kuliah setiap pergantian kurikulum baru. Sebenarnya 2 pendapat
yang berbeda ini muncul ketika konversi mata kuliah ke kurikulum baru ini
“diacarakan” secara terbuka dan transparan untuk menjamin akuntabilitas konversi
itu sendiri yaitu setiap mahasiswa bisa melihat/mengevaluasi perolehan SKS dan
IP kumulatif sebelum dan setelah dilakukan konversi.
Sekilas tidak ada masalah dengan adanya perubahan kurikulum ini, tetapi setelah diteliti yang terjadi sebenarnya banyak masalah. Namun yang menarik, pergantian kurikulum ini tidak pernah mengemuka. Yang lebih menarik lagi sebenarnya proses konversi mata kuliah ini telah melalui perjalanan panjang, diskusi tim yang melelahkan, dan dibahas dalam rapat jurusan tetapi di sana hampir tidak ada komentar atau kritik yang terdengar baik yang menyangkut prosedur; substansi; proses konversi; apalagi pendapat yang menyatakan “ngapain pake konversi mata kuliah segala…!, biarkan kurikulum baru ini diterapkan untuk mahasiswa baru saja…!”. Tetapi baiklah saya tidak akan membahas polemik di atas, apalagi membahas proses konversi mata kuliah ke kurikulum baru tahun 2007 “yang tidak bermasalah?”. Fokus saya di tulisan ini adalah mengkaji penerapan kurikulum baru hanya untuk mahasiswa angkatan baru saja.
Para
pembaca tentu paham bahwa bila kurikulum baru hanya diterapkan untuk mahasiswa
angkatan baru saja sementara mahasiswa yang ada saat ini tetap menggunakan
kurikulum lama itu artinya jurusan yang bersangkutan pada waktu yang sama menjalankan 2 kurikulum.
Untuk jurusan yang student body-nya
besar dan banyak mahasiswa yang tidak lulus tepat waktu hal ini akan
menimbulkan banyak persoalan. Lho kok bisa…!!!??? Ya jelas tho…!, coba lihat
ini: (1). jumlah mata kuliah yang disajikan per-semester bertambah, (2). jika
menjalankan kelas paralel butuh ruang yang lebih banyak atau kalau mau ndak
banyak kuliahnya sampai malam hari, (3). administrasi akademik harus teliti dan
rapi, (4). jumlah SKS mengajar dosen bertambah, (5). kebutuhan sarana mengajar
meningkat, (6). Sistim Informasi Akademik (SIA) harus bisa mendukung operasional
2 s/d 3 kurikulum sekaligus, dan (7). pada suatu saat bisa menerapkan 3
kurikulum sekaligus. Saya yakin para pembaca pasti tidak menolak pendapat (1)
s/d (6) di atas. Lalu pendapat nomor (7) gimana…?
DIKTI menghimbau semua jurusan setiap 3 atau paling telat 5 tahun melakukan revisi kurikulum. Ini diamini oleh semua universitas di Indonesia tak terkecuali UNDIP yang mewajibkan semua jurusan harus merevisi kurikulumnya setiap rentang waktu tersebut dan kurikulum baru yang dihasilkan dikukuhkan melalui SK Rektor. Ini artinya setiap 6 semester atau paling banyak 10 semester berikutnya sejak diterapkan kurikulum baru, semua jurusan wajib merevisi kurikulumnya lagi. Lha kalo sekarang jurusan yang bersangkutan menjalankan kurikulum 8 semester sementara banyak mahasiswa yang tidak bisa lulus tepat waktu maka sudah dipastikan suatu saat jurusan tersebut akan menjalankan 3 kurikulum sekaligus. Wooow ruarrrr biasaaaa jika itu terjadi…!
Ini
berbeda kalau student body
di setiap jurusan sedikit, mahasiswanya pandai-pandai sehingga lulus tepat
waktu, sistem DO diterapkan secara tegas, tidak ada peraturan mengambil nilai
terbaik bagi mahasiswa yang melakukan perbaikan, serta sarana pra-sarana
pendidikan dan pembelajaran memadai seperti universitas-universitas di Luar
Negeri hal seperti di atas tidak akan terjadi. Sayangnya ini di Indonesia
dimana setiap tahun semua jurusan menerima lebih dari 200 mahasiswa, sarana dan
pra-sarana pendidikan dan pembelajaran masih terbatas, dan kewajiban revisi
kurikulum setiap 3 atau 5 tahun masuk dalam komponen penilaian BORANG (alat untuk mengumpulkan dan mengungkapkan data
dan informasi yang digunakan untuk menilai kelayakan dan mutu institusi
perguruan tinggi). Maka
jika bersikeras menggunakan 2 atau 3 kurikulum sekaligus persoalan-persoalan di
atas dipastikan akan muncul.
Tetapi jangan khawatir kalau ndak mau ribet gunakan saja kurikulum yang tetap/tidak berubah sepanjang masa. Kalau toh berubah paling-paling di SAP dan GBPP-nya saja. Berani…!!!???
Kadang
saya berpikir kenapa kita tidak bisa seperti PT-PT di Amerika, Eropa, Jepang
dan Korea ? Tetapi setiap saya berpikir ke sana segera saya alihkan ke hal lain
yang bisa saya lakukan sekecil
apapun untuk membuat hidup saya ini lebih berarti ketimbang
memikirkan sesuatu yang sulit terjangkau. Karena jika terlalu sering memikirkan
hal ini membuat “frustasi dan tidak tahu lagi apa yang bisa saya berikan untuk
Negeri”. Jangan pernah menyesal berada di suatu tempat karena jika itu anda
pikirkan lagi sebenarnya itu kemauan anda sendiri, tidak ada yang meminta,
tidak ada yang memaksa/mendorong kita. Berbuatlah sesuatu selagi bumi tempat
kita berpijak masih kokoh berdiri…
Penulis : DB. Wibowo
Editor : Laras Saty
No comments:
Post a Comment
bagaimana menurut kamu?